Kalam atau perkataan menurut kaidah nahwu adalah: lafaz yang
tersusun dan berfaidah serta sesuai dengan situasi dan kondisi (bisa juga dimaknai “dengan berbahasa Arab).
Berdasarkan kaidah di atas, “kalam” atau omongan atau
pembicaraan atau apapun istilahnya adalah rangkaian kalimah (kata) yang dapat
dipahami oleh pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Secara umum jika omongan yang dilontarkan seseorang tidak bisa dimengerti maksud dan tujuannya sudah barang tentu omongan tersebut tidak termasuk kategori “kalam”. Sebagai contoh; dua orang yang berbeda kebangsaan dan berbeda bahasa dan keduanya sama-sama tidak mengerti bahasa yang diucapkan salah satu dari mereka.
Akan tetapi, yang dimaksud dengan istilah “kalam” pada kaidah
tersebut berkaitan erat dengan “kebahasaaraban”. Nah, karena kaitan inilah maka
penggunaan bahasa Arab bisa dikatagorikan sebagai “kalam” jika telah memenuhi 4
syarat:
- 1. Lafaz; kata yang diucapkan yang mengandung huruf-huruf Hijaiyah.
- 2. Murakkab; tersusun dari dua kata atau lebih.
- 3. Mufid; memberikan faidah, artinya dapat dipahami oleh pendengar.
- 4. Wadha’; artinya sesuai dengan situasi dan kondisi (berbahasa arab).
Contoh:
رأيت السيارة في الشارع
“Aku lihat
sebuah mobil di jalan raya”
Nah, pada saat seseorang mendengar ungkapan tersebut dan dapat
memahami maksudnya, maka sudah barang tentu ungkapan tersebut termasuk dalam
katagori “kalam”. Lalu bagaimana jika seseorang yang mendengar tidak memahami
artinya? Apakah ungkapan tadi masih bisa disebut “kalam”? . Jawabnya: tidak,
karena ada syarat kalam yang tertinggal; yaitu Mufid (berfaidah).
Demikian pembahasan sementara tentang dasar-dasar Nahwu,
saran dan kritik sangat kami harapkan.
(rujukan: kitab al-Ajrumiyah)
No comments:
Post a Comment